BAB 9 DAN BAB 11
BAB 9
WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
Dasar
hukum wajib mendaftar perusahaan
Dasar
hukum mengenai HAKI di Indonesia diatur dengan undang-undang Hak Cipta no.19
tahun 2003, undang-undang Hak Cipta ini melindungi antara lain atas hak cipta
program atau piranti lunak computer, buku pedoman penggunaan program atau
piranti lunak computer dan buku-buku (sejenis) lainnya. Terhitung sejak 29 Juli
2003, Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perlindungan Hak Cipta,
perlindungan ini juga mencakup :
Program atau Piranti
lunak computer, buku pedoman pegunaan program atau piranti lunak computer, dan
buku-buku sejenis lainnya.
Dari warga Negara
atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat, atau
Untuk mana warga
Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat
memiliki hak-hak ekonomi yang diperoleh dari UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, atau
untuk mana suatu badan hukum (yang secara langsung atau tak langsung
dikendalikan, atau mayoritas dari saham-sahamnya atau hak kepemilikan lainnya
dimiliki, oleh warga Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di Amerika Serikat) memiliki hak-hak ekonomi itu;
Program atau piranti
lunak computer, buku pedoman penggunaan program atau piranti lunak computer dan
buku-buku sejenis lainnya yang pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat.
Para anggota BSA termasuk ADOBE, AutoDesk, Bently, CNC Software, Lotus
Development, Microsoft, Novell, Symantec, dan Santa Cruz Operation adalah
perusahaan-perusahaan pencipta program ataupiranti lunak computer untuk
computer pribadi (PC) terkemuka didunia, dan juga adalah badan hukum Amerika
Serikat yang berkedudukan di Amerika Serikat. Oleh karena itu program atau
piranti lunak computer, buku-buku pedoman penggunaan programataupiranti lunak
computer dan buku-buku sejenis lainnya ciptaan perusahaan-perusahaan tersebut
dilindungi pula oleh UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA.
Ketentuan
wajib daftar perusahaan
Wajib
daftar perusahaan secara sepintas tampaknya adalah hanya masalah teknis
administratif. Namun demikian pendaftaran atau daftar perusahaan merupakan hal
yang sangat penting. Pada dasarnya ada 3 pihak yang memperoleh manfaat dari
daftar perusahaan tersebut, yaitu:
1.
Pemerintah
2.
Dunia
Usaha
3.
Pihak
lain yang berkepentingan
Selain
itu daftar perusahaan penting sebagai alat pembuktian yang sempurna atau
ontentik.
Daftar Perusahaan
Dalam
ketentuan Umum Undang – Undang No.3 tahun 1982 disebutkan bahwa :
Daftar
Perusahaan adalah Daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan
ketentuan undang – undang Wajib Daftar Perusahaan atau UU – WDP dan atau
peraturan – peratuaran pelaksanannya , dan atau memuat hal – hal yang wajib
didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang
di Kantor Pendaftaran Perusahaan.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UUWDP pada tahun 1998 diterbitkan
Keputusan Menperindag No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah dengan Keputusan
Menperindag No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang penyelenggaraan Wajib Daftar
Perusahaan serta Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang
Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan
pertimbangan bahwa perlu diadakan penyempurnaan guna kelancaran dan peningkatan
kualitas pelayanan pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi,
kegunaan pendaftaran perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan
peran daftar perusahaan serta menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP.
(I.G.Rai Widjaja, 2006: 273)
Jadi dasar penyelenggaraan WDP sebelum dan sewaktu berlakunya UUPT yang lama
baik untuk perusahaan yang berbentuk PT, Firma, persekutuan komanditer,
Koperasi, perorangan ataupun bentuk perusahaan lainnya diatur dalam UUWDP dan
keputusan menteri yang berkompeten.
Ketentuan Wajib Daftar Perusahaan
1.
Dasar
Pertimbangan Wajib Daftar Perusahaan
a.
Kemajuan
dan peningkatan pembangunan nasional pada umumnya dan perkembangan kegiatan
ekonomi pada khususnya yang menyebabkan pula berkembangnya dunia usaha dan
perusahaan, memerlukan adanya Daftar Perusahaan yang merupakan sumber informasi
resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas dan hal-hal yang
menyangkut dunia usaha dan perusahaan yang didirikan, bekerja serta
berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia,
b.
Adanya
Daftar Perusahaan itu penting untuk Pemerintah guna melakukan pembinaan,
pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena
Daftar Perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari
setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan dan kepastian
berusaha bagi dunia usaha,
c.
Bahwa
sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas perlu adanya Undang-undang tentang
Wajib Daftar Perusahaan.
TUJUAN DAN SIFAT WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
Daftar
Perusahaan bertujuan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar
dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak
yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang
perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin
kepastian berusaha ( Pasal 2 ).
Tujuan
daftar perusahaan :
Mencatat
secara benar-benar keterangan suatu perusahaan meliputi identitas, data serta
keterangan lain tentang perusahaan.
1) Menyediakan informasi
resmi untuk semua pihak yangberkepentingan.
2) Menjamin kepastian
berusaha bagi dunia usaha.
3) Menciptakan iklim
dunia usaha yang sehat bagi dunia usaha.
4) Terciptanya
transparansi dalam kegiatan dunia usaha.
Daftar
Perusahaan bersifat terbuka untuk semua pihak. Yang dimaksud dengan sifat
terbuka adalah bahwa Daftar Perusahaan itu dapat dipergunakan oleh pihak ketiga
sebagai sumber informasi ( Pasal 3 ).
Tujuan
Wajib Daftar Perusahaan
Maksud
diadakannya usaha pendaftaran perusahaan ialah tidak hanya untuk mencegah agar
supaya khalayak ramai terhadap suatu nama perusahaan mendapatkan suatu gambaran
yang keliru mengenai perusahaan yang bersangkutan, tetapi terutama untuk
mencegah timbulnya gambaran sedemikian rupa sehingga pada umumnya gambaran itu
mempengaruhi terjadinya perbuatan-perbuatan ekonomis pihak-pihaik yang berminat
mengadakan perjanjian
Sifat
Wajib Daftar Perusahaan
Wajib
Daftar Perusahaan bersifat terbuka. Maksudnya ialah bahwa Daftar Perusahaan itu
dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai sumber informasi. Setiap orang
yang berkepentingan dapat memperoleh salinan atau petikan resmi dari keterangan
yang tercantum dalam Daftar Perusahaan tertentu, setelah membayar biaya
administrasi yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
CARA ,TEMPAT DAN WAKTU PENDAFTARAN PERUSAHAAN
Menurut
Pasal 9 :
a.
Pendaftaran
dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri
pada kantor tempat pendaftaran perusahaan.
b.
Penyerahan
formulir pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan, yaitu :
1.
di
tempat kedudukan kantor perusahaan;
2.
di
tempat kedudukan setiap kantor cabang, kantor pembantu perusahaan atau kantor
anak perusahaan;
3.
di
tempat kedudukan setiap kantor agen dan perwakilan perusahaan yang mempunyai
wewenang untuk mengadakan perjanjian.
c.
Dalam
hal suatu perusahaan tidak dapat didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat b
pasal ini, pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan di Ibukota
Propinsi tempat kedudukannya. Pendaftaran wajib dilakukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan usahanya. Sesuatu perusahaan
dianggap mulai menjalankan usahanya pada saat menerima izin usaha dari instansi
teknis yang berwenang ( Pasal 10 ).
Pendaftaran
Perusahaan dilakukan oleh Pemilik atau Pengurus/Penanggung Jawab atau Kuasa
Perusahaan yang sah pada KPP Tingkat II ditempat kedudukan perusahaan. Tetapi
kuasa tersebut tidak termasuk kuasa untuk menandatangani Formulir Pendaftaran
Perusahaan.
Hal-Hal
yang Wajib Didaftarkan Perusahaan
Hal-hal
yang Wajib Didaftarkan
Hal-hal
yang wajib didaftarkan itu tergantung pada bentuk perusahaan, seperti ;
perseroan terbatas, koperasi, persekutuan atau perseorangan. Perbedaan itu
terbawa oleh perbedaan bentuk perusahaan.
Bapak H.M.N. Purwosutjipto, S.H memberi contoh apa saja yang yang wajib
didaftarkan bagi suatu perusahaan berbentuk perseroan terbatas sebagai berikut
:
A.
Umum
a)
nama
perseroan
b)
merek
perusahaan
c)
tanggal
pendirian perusahaan
d)
jangka
waktu berdirinya perusahaan
e)
kegiatan
pokok dan kegiatan lain dari kegiatan usaha perseroan
f)
izin-izin
usaha yang dimiliki
g)
alamat
perusahaan pada waktu didirikan dan perubahan selanjutnya
h)
alamat
setiap kantor cabang, kantor pembantu, agen serta perwakilan perseroan.
B.
Mengenai
Pengurus dan Komisaris
a)
nama
lengkap dengan alias-aliasnya
b)
setiap
namanya dahulu apabila berlainan dengan nama sekarang
c)
nomor
dan tanggal tanda bukti diri
d)
alamat
tempat tinggal yang tetap
e)
alamat
dan tempat tinggal yang tetap, apabila tidak bertempat tinggal Indonesia
f)
Tempat
dan tanggal lahira
g)
negara
tempat tanggal lahir, bila dilahirkan di luar wilayah negara RI
h)
kewarganegaran
pada saat pendaftaran
i)
setiap
kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan yang sekarang
j)
tanda
tangan
k)
tanggal
mulai menduduki jabatan
C.
Kegiatan
Usaha Lain-lain Oleh Setiap Pengurus dan Komisaris
a)
modal
dasar
b)
banyaknya
dan nilai nominal masing-masing saham
c)
besarnya
modal yang ditempatkan
d)
besarnya
modal yang disetor
e)
tanggal
dimulainya kegiatan usaha
f)
tanggal
dan nomor pengesahan badan hokum
g)
tanggal
pengajuan permintaan pendaftaran
D.
Mengenai
Setiap Pemegang Saham
a)
nama
lengkap dan alias-aliasnya
b)
setiap
namanya dulu bila berlainan dengan yang sekarang
c)
nomor
dan tanggal tanda bukti diri
d)
alamat
tempat tinggal yang tetap
e)
alamat
dan negara tempat tinggal yang tetap bila tidak bertempat tinggal di Indonesia
f)
tempat
dan tanggal lahir
g)
negara
tempat lahir, jika dilahirkan di luar wilayah negara R.I
h)
Kewarganegaraan
i)
jumlah
saham yang dimiliki
j)
jumlah
uang yang disetorkan atas tiap saham.
E.
Akta
Pendirian Perseroan
Pada
waktu mendaftarkan, pengurus wajib menyerahkan salinan resmi akta pendirian
perseroan.
BAB 11
HAK KEKAYAN INTELEKTUAL (HAKI)
A.
PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta
intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual
Property Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual
tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the
Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan
kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana
HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci
HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud
(benda imateriil).
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak
berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual
sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra,
keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
B.
PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip
– prinsip Hak Kekayaan Intelektual :
- Prinsip
Ekonomi.
Prinsip
ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya
pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
- Prinsip
Keadilan.
Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan
suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
- Prinsip
Kebudayaan.
Prinsip
kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
meningkatkan kehidupan manusia
- Prinsip
Sosial.
Prinsip
sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
C.
KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan
WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak
cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak
kekayaan industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala
sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak
kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi
Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di
amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
- Paten
- Merek
- Varietas
tanaman
- Rahasia
dagang
- Desain
industry
- Desain
tata letak sirkuit terpadu
D.
DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
- UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
- UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor
15)
- UU
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
- UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI
Tahun 1997 Nomor 29)
E.
HAK CIPTA
PENGERTIAN
Hak
Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan,
sastra dan seni.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak
cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan,
kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada
pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat
pribadi”.
Dasar
Hukum HAK CIPTA :
- UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
- UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor
15)
- UU
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
- UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI
Tahun 1997 Nomor 29)
F.
HAK PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
- Paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
- Hak
khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di
bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk
melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).
- Paten
diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan
yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula
paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi
memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten
sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
- Paten
hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan
(baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah
kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
- proses;
- hasil
produksi;
- penyempurnaan
dan pengembangan proses;
- penyempurnaan
dan pengembangan hasil produksi
Dasar
Hukum HAK PATEN :
- UU
Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
- UU
Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor
109)
G.
HAK MERK
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1
Ayat 1)
Merek
merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa)
tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga
kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang
Merek).
Istilah
– Istilah Merk :
- Merek
dagang
adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan barang-barang sejenis lainnya.
- Merek
jasa
yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
- Merek
kolektif
adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik
yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
- Hak
atas merek
adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang
terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan
sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa
orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Dasar
Hukum HAK MERK :
- UU
Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
- UU
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
- UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor
110)
H.
DESAIN INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain
Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan
dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan
suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat
1)
I.
RAHASIA DAGANG
Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang :
BAB 12, 13 DAN BAB 14
PENGERTIAN KONSUMEN
1.1 Pengertian Konsumen
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang
atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang
menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang
menggunakan barang atau jasa”.
Didalam realitas bisnis seringkali dibedakan antara :
· Consumer
(konsumen) dan Custumer (pelanggan).
o Konsumen adalah semua orang atau masyarakat.
Termasuk pelanggan.
o Pelanggan adalah konsumen yang telah
mengkonsumsi suatu
o produk yang di produksi oleh produsen
tertentu.
· Konsumen
Akhir dengan Konsumen Antara :
o Konsumen akhir adalah Konsumen yang
mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya;
o Konsumen antara adalah konsumen yang
memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya.
1.2 Pengertian Perlindungan Konsumen
Sedangkan pengertian perlindungan konsumen yaitu :
· Menurut
Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 :
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen”.
· GBHN
1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a:
“ … pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar
arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya
saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”
1.3 Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen adalah :
“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”.
Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah
:
Bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila
kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam
keadaan yang tidak seimbang.
AZAS DAN TUJUAN
2.1 Tujuan Perlindungan
Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang no. 8 tahun 1999
Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :
* Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
* Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa,
* Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
* Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi,
* Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha,
* Meningkatkan kualitas barang dan/atau
jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
2.2 Azas Perlindungan Konsumen
Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :
* Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
* Asas Keadilan; partisipasi seluruh
rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil,
* Asas Keseimbangan; memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual,
* Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan;
* Asas Kepastian Hukum; baik pelaku
usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
3.1 Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Hak-hak Konsumen adalah :
* Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
* Hak untuk memilih barang dan/atau
jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
* Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
* Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
* Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
* Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
* Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
* Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
* Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
3.2 Kewajiban Konsumen
Tidak hanya bicara hak, Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen juga memuat kewajiban konsumen, antara lain :
* Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
* Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
* Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati;
* Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN
PELAKU USAHA
4.1 Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak
dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang
perlindungan konsumen adalah:
Ø hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
Ø hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
Ø hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di
dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
Ø hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan
Ø hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
4.2 Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7
Undang-undang perlindungan konsumen adalah:
Ø beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Ø memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
Ø memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif;
Ø menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
Ø memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Ø memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
Ø memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
5.1 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang :
a.Tidak sesuai dengan :
ü standar yang dipersyaratkan;
ü peraturan yang berlaku;
ü ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang
sebenarnya.
b.Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan
keterangan lain mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
ü berat bersih;
ü isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
ü kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
ü mutu, tingkatan, komposisi;
ü proses pengolahan;
ü gaya, mode atau penggunaan tertentu;
ü janji yang diberikan;
c.Tidak mencantumkan :
ü tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
ü informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa
indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam
label
e.Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
ü Nama barang;
ü Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
ü Tanggal pembuatan;
ü Aturan pakai;
ü Akibat sampingan;
ü Nama dan alamat pelaku usaha;
ü Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan
harus dipasang atau dibuat
f.Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan
Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
2. Dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan barang dan/atau jasa :
a.Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
ü Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan
harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
ü Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat,
berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b.Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau jasa
tersebut :
ü Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris
tertentu.
ü Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi.
ü Telah tersedia bagi konsumen.
c.Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa
lain.
d.Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
e.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum
pasti.
f. Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
jika bermaksud tidak dilaksanakan.
g.Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
h.Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain,
untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa
pelayanan kesehatan.
3. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa
untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat
pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a.Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan.
b.Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang
dan/atau jasa.
c.Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
4. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa
untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
a.Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu
dijanjikan.
b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c.Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau
menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang
dijanjikan.
5.Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang
melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada
konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6.Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan
dan mengelabui konsumen dengan :
a.Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu
tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan
untuk menjual barang lain.
c.Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah
tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
d.Menaikkan harga sebelum melakukan obral.
KLAUSAN BAKU DALAM PERJANJIAN
6.1 Klausa Baku dalam Perjanjian
Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang
perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula
eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule) yaitu klausula yang berisi
pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang
lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai
klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:
a.menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d.menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e.mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula
baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak” sehingga
diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di
dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha
dengan konsumen.
Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil
yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan
akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat
kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari
perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa
dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering
tidak tahu apa yang menjadi haknya.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
7.1 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai
berikut, ”Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk
produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk
tersebut.“
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem
tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu
ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:
1.Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis
atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
SANKSI – SANKSI
8.1
Sanksi-sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
· Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan
· Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah
tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui
BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
· Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua
milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b,
c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus
juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8
Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit
berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
o
Pengumuman keputusan Hakim
o
Pencabuttan izin usaha;
o
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
o
Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
o
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
SUMBER : Kartika S,Elsi dan Advendi.Hukum Dalam Ekonomi (Edisi II Revisi).Grasindo
Bpk. Arus Akbar Silondae, SH., L.L.M. dan Ibu Andi
Fariana, S.H., M.H. Aspek Hukum dalam Ekonomi & Bisnis. Mitra. Wacana Media
http://bennyantoni.blogspot.com/2010/06/bab-9-perlindungan-konsumen_04.html
BAB 13
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT ITU DILARANG
Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
A.
Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau
istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan
dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya
hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu
istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5
Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis
sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
(pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan
“praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau
lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha
secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
A. Asas dan Tujuan
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition
dan memperkuat kedaulatan konsumen.
B. Kegiatan yang
dilarang dalan antimonopoly
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan
adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku
usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi,
kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
C. Perjanjian yang
dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan
secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang
tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih
menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut
sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit
agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara,
namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya
”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya
perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy.
Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika
tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang
dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang
Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah
perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian yang
dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan:
• Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain
yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha
yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang
menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.
• Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu
Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari
Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
• Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk
memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset
Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut.
Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari
aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999).
Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut
berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan
munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang
bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha
tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu
kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku
usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena
itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan
sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah
tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU.
Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis
perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat
singkat, dalam satu kalimat saja.
D. Hal-hal yang
Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar,
yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
E. Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk
secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa
yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran
melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau
menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu
sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang
selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang
ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya,
yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan
kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya
produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
F. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU
Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Ruang Lingkup Hukum Anti Monopoli
Dalam Undang-undang Fair Trading di Inggris tahun 1973, istilah Monopoli
diartikan sebagai keadaan di mana sebuah perusahaan atau sekelompok perusahaan
menguasai sekurang- kurangnya 25 % penjualan atau pembelian dari produk-produk
yang ditentukan . Sementara dalam Undang-Undang Anti Monopoli Indonesia , suatu
monopoli dan monopsoni terjadi jika terdapatnya penguasaan pangsa pasar lebih
dari 50 % (lima puluh persen ) (pasal 17 ayat (2) juncto pasal 18 ayat (2) )
Undang-undang no 5 Tahun 1999Dalam pasal 17 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli
dikatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat”, sedangkan dalam pasal 17
ayat (2) dikatakan bahwa “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama;atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai lebih dari 50 %
(lima puluh persen ) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Sementara itu, pengertian posisi dominan dipasar digambarkan dalam
sidang-sidang Masyarakat Eropa sebagai :
a) Kemampuan untuk bertindak secara merdeka dan bebas dari pengendalian harga,
dan
b) Kebergunaan pelanggan, pemasok atau perusahaan lain dalam pasar, yang bagi
mereka perusahaan yang dominant tersebut merupakan rekan bisnis yang harus ada
c) Dalam ilmu hukum monopoli beberapa sikap monopolistik yang mesti sangat
dicermati dalam rangka memutuskan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai
tindakan monopoli. Sikap monopolistik tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Mempersulit masuknya para pesaing ke dalam bisnis yang bersangkutan
(2) Melakukan pemasungan sumber suplai yang penting atau suatu outlet
distribusi yang penting.
(3) Mendapatkan hak paten yang dapat mengakibatkan pihak pesaingnya sulit untuk
menandingi produk atau jasa tersebut.
(4) Integrasi ke atas atau ke bawah yang dapat menaikkan persediaan modal bagi
pesaingnya atau membatasi akses pesaingnya kepada konsumen atau supplier.
(5) Mempromosikan produk secara besar-besaran
(6) Menyewa tenaga-tenaga ahli yang berlebihan.
(7) Perbedaan harga yang dapat mengakibatkan sulitnya bersaing dari pelaku
pasar yang lain
(8) Kepada pihak pesaing disembunyikan informasi tentang pengembangan produk ,
tentang waktu atau skala produksi.
(9) Memotong harga secara drastis.
(10) Membeli atau mengakuisisi pesaing- pesaing yang tergolong kuat atau
tergolong prospektif.
(11) Menggugat pesaing-pesasingnya atas tuduhan pemalsuan hak paten,
pelanggaran hukum anti monopoli dan tuduhan-tuduhan lainnya. ( Andersen,
William R, 1985:214 dalam Munir Fuady, 2003: 8).
Jika kita telusuri ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun
1999, maka tindakan–tindakan yang berhubungan dengan pasar yang perlu diatur
oleh hukum anti monopoli yang sekaligus merupakan ruang lingkup dari hukum anti
monopoli tersebut adalah sebagai berikut:
a) Perjanjian yang dilarang;
b) Kegiatan yang dilarang;
c) Penyalahgunaan posisi dominan;
d) Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
e) Tata cara penanganan perkara;
f) Sanksi-sanksi;
g) Perkecualian-perkecualian.
Sedangkan Perjanjian yang dilarang oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli
adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian –perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar yang terdiri dari :
a) Oligopoli;
b) Penetapan harga;
c) Pembagian Wilayah;
d) Pemboikotan;
e) Kartel;
f) Trust;
g) Integrasi vertical;
h) Perjanjian tertutup;
i) Perjanjian dengan pihak luar negeri.
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut:
a) Monopoli;
b) Monopsoni;
c) Penguasaan pasar;
d) Persekongkolan;
3. Posisi dominan di pasar yang meliputi:
a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing;
a) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi;
b) Menghambat pesaing untuk masuk pasar;
c) Jabatan rangkap;
d) Pemilikan saham;
e) Merger, akuisisi,dan konsolidasi;
Pada sistematika menurut Undang-undang Anti Monopoli no 5 tahun 1999 seperti
tersebut diatas, maka kita dapat juga mendeskripsikan ruang lingkup dari hukum
anti monopoli menjadi sebagai berikut.
1. Tentang Pembatasan Persaingan yang Horisontal.
2. Tentang pembatasan Persaingan yang Vertikal.
3. Tentang Penguasaan Pangsa Pasar yang Besar.
4. Tentang Penyalahgunaan posisi Dominan.
5. Tentang Diskripsi Harga.
6. Tentang Merger dan Akuisisi.
7. Tentang Badan Penegakan Hukum.
8. Tentang Sanksi-sanksi.
9. Tentang Prosedur Penegakan Hukum.
10.Tentang perkecualian-perkecualian.
Penyelenggaraan jaringan tetap dan penyelenggaraan jasa teleponi dasar
dikategorikan sebagai penyelenggara posisi dominan sebagaimana dimaksud dengan
pasal 3 Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 33 Tahun 2004 tentang Pengawasan
Kompetisi yang sehat dalam penyelenggraan jaringan tetap dan penylenggaraan
jasa teleponi dasar, dilarang untuk:
a. Menyalahgunakan (abuse) posisi dominannya untuk melakukan praktek monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat;
b. Melakukan dumping atau menjual atau menyelenggarakan usahanya dengan tarif
yang lebih rendah dari biaya (cost) dan atau menyelenggarakan atau menjual
jasanya dengan harga diatas tarif yang telah ditetapkan melalui formula tarif
sesuai ketentuan yang berlaku;
c. Menggunakan pendapatannya untuk melakukan subdisi biaya terhadap
penyelenggaraan jaringan tetap dan penyelenggaraan jasa teleponi dasar lain
yang lebih kompetitif dan tidak memiliki posisi dominan yang juga
diselenggarakannya;
d. Mensyaratkan atau memaksa secara langsung atau tidak langsung pengguna atau
pelanggannya untuk hanya menggunakan jaringan dan jasa teleponi dasar ( SLJJ
dan SLI) yang diselenggaraknnya;
e. Tidak memberikan layanan interkoneksi atau melakukan tindakan diskriminatif
kepada penyelenggara jaringan tetap dan penyelenggara jasa teleponi dasar lain
yang mengajukan permintaan interkoneksi.
Dalam teori ilmu hukum, larangan terhadap tindakan monopoli atau persaingan
curang garis besarnya dilakukan dengan memakai salah satu dari dua teori
sebagai berikut :
1) Teori Per Se, dan
2) Teori Rule of Reason
Dengan teori Per Se dimaksudkan bahwa pelaksanaan setiap tindakan yang dilarang
akan bertentangan dengan hukum yang berlaku, sementara dengan teori Rule Of
Reason, jika dilakukan tindakan tersebut, masih dilihat seberapa jauh hal
tersebut akan merupakan monopoli atau akan berakibat pada pengekangan
persaingan pasar. Jadi tidak seperti pada teori Per Se, dengan memakai teori
Rule of Reason tindakan tersebut tidak otomatis dilarang, sungguhpun perbuatan
yang dituduhkan tersebut dalam kenyataannya terbukti telah dilakukan.(A.M Tri
Anggraini, 2005 dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 24 halaman 5)
Sejarah Hukum Anti Monopoli di Indonesia
Tidak banyak yang dicatat dalam sejarah Indonesia di seputar kelahiran dan
perkembangan hukum anti monopoli ini. Yang banyak dicatat adalah sejarah justru
tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis yang sebenarnya harus dilarang
oleh Undang-Undang Anti Monopoli. Dimasa orde baru Soeharto misalnya, di masa
itu sangat banyak terjadi monopoli, oligopoly dan perbuatan lain yang menjurus
kepada persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, cengkeh, jeruk,
pengedaran film dan masih banyak lagi. Bahkan dapat dikatakan bahwa
keberhasilan beberapa konglomerat besar di Indonesia juga bermula dari tindakan
monopoli dan persaingan curang lainnya, yang dibiarkan saja bahkan didorong
oleh pemerintah kala itu.
Karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak para praktisi maupun teoritisi
hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar segera dibuat sebuah
Undang-undang Anti Monopoli. Namun sampai dengan lengsernya Mantan Presiden
Soeharto, dimana baru dimasa reformasi tersebut diundangkan sebuah
undang-undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999. Memang sebelum lahirnya
Undang-undang anti monopoli secara sangat minim dalam beberapa undang-undang
telah diatur tentang monopoli atau persaingan curang ini sangat tidak memadai,
ternyata tidak popular dimasyarakat dan tidak pernah diterapkan dalam
kenyataannya. Ketentuan tentang anti monopoli atau persaingan curang sebelum
diatur dalam Undang-undang anti monopoli tersebut, diatur dalam ketentuan
–ketentuan sebagai berikut:
a) Undang- undang no 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. Diatur dalam Pasal 7
ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)
b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Terdapat satu pasal yaitu pasal 382 bis.
c) Undang-undang Perseroan Terbatas No 1 Tahun 1995 Ketentuan monopoli diatur
dalam pasal 104 ayat (1)
Sumber :
http://click-gtg.blogspot.com/2008/08/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.htm
Anti Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
1.
Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual
yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau
sering disebut sebagai "monopolis".
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau
mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi;
semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut,
begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu
keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka
orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang
subtitusi (pengganti) produk tersebut.
2. Asas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3. Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan
pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya
perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak.
Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka
dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli
tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak
sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku
usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis,
melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama
atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha
yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan
perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
4. Perjanjian yang Dilarang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah
sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau
jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah
harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang
dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan
penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada
tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal
yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi
administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya
diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga
mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok.
Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_monopoli
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/asas-dan-tujuan-monopoli/
BAB 14
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
1.
Pengertian Sengketa
Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau
lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi
hukum bagi salah satu diantara keduanya.
2. Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Sengketa dapat di selesaikan dengan berbagai cara dintara nya :
- Negosiasi
- Mediasi
- Arbitrasi
- Konsiliasi
- Enquiry (Penyelidikan)
- Pengadilan
3. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal
lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi
kepentingan kedua pihak.
4. Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau
mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
5. Arbitrase
Arbitrase adalah kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan
6. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Perbedaan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi ialah sebagai berikut :
- Perundingan ialah tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan
yang bisa diterima.
- Arbitrase merupakan kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan
- Ligitasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa,
kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian
atas kerusakan.
Jadi perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu
penyelesaian pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan
diantara kedua belah pihak yang bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di
gunakan jika kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada
oleh sebab itu memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak
bisa diselesaikan dengan menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka
mebutuhkan hukum atau pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
Sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/penyelesaian-sengketa-ekonomi-makalah-aspek-hukum-dalam-ekonomi/
http://accountinghanni.blogspot.com/search/label/aspek%20hukum%20dalam%20ekonomi